JUNDI MAJHUL
By. satria hadi lubis
Ketika Sayyid Quthb ingin masuk menjadi anggota jama'ah Ikhwanul Muslimin, semua anggota Ikhwan setuju, kecuali adiknya Muhammad Quthb. Beliau berkata, "Engkau sudah terkenal wahai Sayyid. Engkau terlalu besar untuk masuk ke dalam jama'ah ini."
Sayyid Quthb menjawab, "Wahai adikku, tidak bolehkah aku menjadi jundi majhul (prajurit yang tidak dikenal) di dalam jama'ah ini? Biarlah aku mengabdi sebagai jundi di dalam keterkenalanku."
Subhanallah....Sayyid Quthb yang waktu itu sudah terkenal di Mesir memilih masuk ke dalam jama'ah Ikhwanul Muslimin yang baru berdiri karena menyadari : berjuang untuk Islam tidak bisa dilakukan sendirian, tetapi HARUS BERSAMA-SAMA.
Seakan beliau melaksanakan wasiat Umar bin Khatab ra : "Tidak ada Islam tanpa jama'ah, tidak ada jama'ah tanpa qiyadah (pemimpin), tidak ada qiyadah tanpa jundi, tidak ada jundi tanpa ketaatan, tidak ada ketaatan tanpa keikhlasan."
Sayyid Quthb paham bahwa setiap muslim seharusnya menjadi jundi dalam barisan dakwah. Walau untuk itu ia harus menukar popularitas yang telah diraih dengan menjadi jundi yang tak terkenal.
Dan untuk menjadi jundi majhul tidaklah mudah. Mampu menekan ego, tidak menganggap paling berjasa, bisa mengelola kekecewaan, berani mengakui salah ketika berhadapan dengan keputusan qiyadah yang berbeda dengan pendapatnya, serta menempatkan tsiqoh (kepercayaan) dan husnudzhon (sangka baik) kepada qiyadah adalah syarat untuk menjadi jundi majhul.
Merekalah yang dipuji Rasulullah dalam sebuah haditsnya sebagai yang diceritakan Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata: "Ketika kami di majlis Rasulullah Shallallahu 'Aalaihi Wa Sallam, tiba-tiba Rasulullah Shallallahu 'Aalaihi Wa Sallam bersabda: "Besok pagi akan ada seorang ahli syurga yang shalat bersama kamu."
Abu Hurairah berkata: "Saya berharap semoga sayalah orang yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu 'Aalaihi Wa Sallam itu.
Maka pagi-pagi saya shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu 'Aalaihi Wa Sallam dan tetap tinggal di majlis setelah orang-orang pada pulang. Tiba-tiba ada seorang budak hitam berkain compang-camping datang berjabat tangan pada Rasulullah Shallallahu 'Aalaihi Wa Sallam sambil berkata: "Wahai Nabi Allah! Do’akan semoga hamba mati syahid." Maka Rasulullah Shallallahu 'Aalaihi Wa Sallam berdoa, sedang kami mencium bau kasturi dari badannya.
Kemudian saya bertanya: "Apakah orang itu wahai Rasulullah?" Jawab Nabi: "Ya benar. Ia seorang budak dari bani fulan." Abu Hurairah berkata: "Mengapa engkau tidak membeli dan memerdekakannya wahai Nabi Allah?"
Jawab Nabi: "Bagaimana aku akan dapat berbuat demikian, sedangkan Allah akan menjadikannya seorang raja di syurga.
Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya di syurga itu nanti ada raja dan orang-orang terkemuka, dan dia itu adalah salah seorang raja dan terkemuka.
Wahai Abu Hurairah! Sesungguhnya Allah mengasihi, mencintai makhluknya yang suci hati, yang samar, yang bersih, yang terurai rambut, yang kempes perut kecuali dari hasil yang halal,
Yang bila akan bertemu kepada raja tidak diizinkan, bila meminang wanita bangsawan tidak akan diterima, bila tidak ada tidak dicari, bila hadir tidak dihiraukan, bila sakit tidak dijenguk, bahkan ia meninggal tidak dihadiri jenazahnya."
Benarlah engkau wahai Nabi!
Keinginan terkenal telah membuat seorang muslim sulit bersatu dalam amal jama'i (aktivitas bersama). Ingin bergerak sendiri dan berada di depan. Sulit menundukkan ego untuk kebersamaan jama'ah umat Islam.
Padahal mobil pun bisa berjalan jika ada kerjasama antar komponen. Bahkan yang menjadi jantung dari kendaraan (mesinnya) justru tidak terlihat dari luar, menjadi jundi majhul dari sebuah mobil.
Membentuk jiwa jundi majhul adalah keharusan seorang muslim yang ingin melihat Allah dan Rasul-Nya ridho kepada dirinya. Yang ingin melihat kejayaan Islam dan bangsanya.
Tanpa kejundian kekuatan umat Islam akan terserak tanpa arti. Kalah dibandingkan kekuatan musuh-musuhnya yang rapi bersatu.
Semoga kita tidak lupa dengan ayat ini :
وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ ٱلۡغَٰلِبُونَ
"Dan sesungguhnya bala tentara Kami itulah yang pasti menang" (Surat Ash-Shaffat, Ayat 173).